Pemerintah Indonesia mengidentifikasi bahwa industri bubur kertas dan kelapa sawit sebagai pendorong utama deforestasi. Kedua sektor ini telah bersiap untuk ekspansi secara massif dengan target melipattigakan produksi pulp dalam 15 tahun ke depan dan dua kali produksi minyak kelapa sawit sepuluh tahun mendatang.
Pemain utama di kedua sektor pulp dan kelapa sawit ini adalah Sinar Mas Group (SMG): Asia Pulp and Paper (APP) - divisi pulp dan Golden Agri Resources (GAR) -divisi kelapa sawit. Kedua perusahaan ini telah mengeluarkan pengumuman kebijakannya sebelum moratoriumpemberian ijin konsesi baru diumumkan pemerintah.
APP misalkan, mengumumkan bahwa mereka tetap bergantung pada penebangan hutan Indonesia sampai akhir 2015. Pernyataan seperti ini adalah kali ketiganya diumumkan setelah mereka gagal menepati komitmen perusahaan agar tidak lagi menebang hutan alam untuk produksi pada 2007. Menghancurkan hutan hujan Indonesia adalah strategi pengembangan bisnis APP.*(Pulping the Planet)
Hal ini sangat bertentangan dengan divisi kelapa sawit Sinar Mas, Golden Agri Resources (GAR), yang mulai tahun 2011 ini memberlakukan kebijakan konservasi hutan baru untuk memastikan bahwa operasi kelapa sawit mereka tidak meninggalkan jejak deforestasi.
Tiga puluh tahun lalu, APP memulai bisnis kertasnya di Riau dengan menghancurkan hutan hujan dan strategi bisnis jahat itu terus berlangsung hingga sekarang. Basis produksi pulp utama APP adalah Indonesia, dan divisi ini menyumbang sekitar 40% dari total produksi pulp Indonesia. APP Group bergantung pada penebangan habis hutan hujan alam oleh perusahaan-perusahaan mitra dalam SMG untuk memenuhi kebutuhan produksinya.Kayu gelondongan hasil penebangan hutan hujan Indonesia, termasuk hutan lahan gambut, menyumbang sekitar 20% serat yang dijadikan bubur kertas di pabrik-pabrik APP antara tahun 2007 dan 2009.
Investigasi Greenpeace mengungkapkan bahwa sumber bahan baku APP berasal dari hutan habitat satwa langka dilindungi, seperti Harimau Sumatera, Gajah dan Orangutan di bentang alam Bukit Tigapuluh Jambi dan kawasan hutan gambut terutama di Kerumutan, Riau.
Rentang waktu 2007 dan 2011 para pemasok APP menambahkan kehancuran sekitar 69.500 hektar hutan di buffer zone Bukit Tigapuluh mengakibatkan spesies harimau Sumatra dan Orangutan selangkah lebih dekat menuju kepunahan.
Diperkirakan terdapat sekitar 400 harimau Sumatra tersisa di alam bebas, sekitar 30 harimau diperkirakan tinggal di Bukit Tigapuluh. Wilayah ini begitu kritis untuk keberlangsungan hidup harimau di alam bebas, sehingga ditetapkan sebagai satu dari duapuluh Bentang Konservasi Harimau Prioritas Global.
Harimau-harimau ini berbagi habitat dengan lebih dari 150 gajah Sumatra dan 130 orangutan Sumatra yang telah direintroduksi ke alam bebas.Bentang alam ini juga merupakan tempat tinggal masyarakat dari dua kelompok adat hutan: Orang Rimba dan Talang Mamak.
APP juga menargetkan penghancuran hutan gambut Kerumutan seluas 1,3 juta hektar yang merupakan habitat penting bagi harimau Sumatra dan kini terancam punah. Kerumutan juga satu wilayah lahan gambut kaya karbon tersisa di dunia. Sebagian besar dari wilayah ini adalah gambut dalam atau lebih dari 3 meter. APP secara aktif menebangi dan mengeringkan lahan gambut di bentang alam ini.
Bukannya menghentikan praktik bisnis buruk ini, APP jutru telah merencanakan pengembangan HTI di Papua seluas 500 ribu hektar dan akan beroperasi 2017 mendatang dan menambah kapasitas produksi di Sumatera dan Kalimantan Timur.
Meski demikian dorongan kuat konsumen terhadap pertanggungjawaban sebuah produk telah menjadi kekuatan besar dalam perubahan kebijakan perusahaan.Sejumlah perusahaan multinasional seperti KRAFT, STAPLES dan GUCCI telah mulai membersihkan jejak deforestasi dalam produknya dengan pemutusan kontrak bisnis bersama APP.
Dalam investigasi Greenpeace, sejumlah industri mainan terkenal seperti Mattel yang memproduksi boneka berbusana Barbie, Lego dengan Star Wars-nya dan Disney telah terbukti ikut berperan dalam penghancuran hutan hujan Indonesia, mendorong kepunahan satwa langka dan perubahan iklim. Mereka bisa bergabung dengan perusahaan besar lainnya yang telah memilih jalan bisnis rendah karbon.
Bagi APP, tidak ada jalan lain selain menghentikan penghancuran hutan alam dan kawasan gambut dan menerapkan pola bisnis ramah lingkungan seperti komitment perusahaan satu kelompoknya - GAR yang baru dirintis pada tahun 2011 ini.
sumber :
greenpeace